Tahun 2011
Senja memudar. Gerombolan pekat hitam menyembunyikan tirai-tirai jingga di pelukannya. Dikelilingi aroma kesunyian yang mengendap di celah-celah udara. Cakrawala telah berganti samudera gelap tak berujung. Malam bertahta.
Mata wanita itu juga tampak memudar. Senjanya baru saja berkemas dan pergi. Senja telah membaurkan diri bersama pasukan malam yang sengaja menjemputnya. Pertunjukan yang setiap sore disaksikannya itu telah berakhir dengan sangat cepat.
Wanita itu kemudian berdiri dan menutup jendela. Raut wajahnya berubah cemas. Berkali-kali dia melirik jam kuno yang menggantung di dinding rumahnya, lelah berdetak tak henti. Dia khawatir, anak-anak tumpuan harapannya belum juga pulang. Kemana mereka?.
“Bilqis pulang,” sebuah suara dengan intonasi datar membuat perasaan cemas wanita itu sedikit berkurang. Gadis berseragam putih biru itu tampak lelah.
Bibir wanita itu mengukir senyum, namun tidak dengan matanya. Matanya berkaca-kaca. Dia berusaha membungkam tangisannya dan terus berdiri di tempat memperhatikan gadis bungsunya yang kemudian menghilang di balik pintu kamar. Tidak membalas senyumnya, bahkan menoleh ke arahnya pun tidak. Wanita itu mengelus dada dan membiarkan air matanya tumpah. Dia pun menangis dalam diam.
“Ma, Hikko ke rumah teman,” belum sempat menjawab, sosok anak lelakinya itu telah berlari dengan cepat menuju pintu. Wanita itu kembali mengelus dadanya. Dia merenung. Anak lelakinya itu sudah dewasa rupanya. Tubuhnya yang telah tumbuh menjadi tinggi, serta bingkai wajahnya yang tampan. Semuanya telah berlalu dengan cepat, curahnya dalam hati.
“Nisa dari mana sayang?” tanya wanita itu kemudian ketika menyadari seorang anak perempuan manis memasuki rumah.
“Dari kampus lah ma, darimana lagi,” jawab Nisa ketus kemudian berlalu begitu saja.
Untuk kesekian kalinya wanita itu mengelus dada. Dia terduduk dan menangis sesegukan. Ketiga anak kebanggaannya tak lagi menghiraukannya. Mungkin masa lalu masih mengikuti mereka. Masa lalu masih menyelimuti setiap hari yang terlewati. Kisah lampau yang di setiap episodenya terselip duka, kecewa dan amarah. Cerita lalu yang mampu memisahkan satu dunia menjadi bagian-bagian dengan kejamnya. Membelokkan jalan orang-orang yang seharusnya melaju di jalur yang sama.
“Maafkan mama sayang,” ujarnya pelan.
Fachrunisa
Viroland Note’s
Seperti biasa, aku selalu menghabiskan waktuku di Café Diamond yang terletak di seberang kampus. Tempat yang menyimpan kisah-kisahku dengan seseorang, memotret dan mengabadikannya, serta menyuarakan lagu rindu setiap kali aku memasukinya. Ah, orang itu. Di café itu jugalah aku mengembangkan imajinasi menulisku. Aku bercita-cita menjadi penulis, tapi Ibuku mematikan keinginan itu dan memaksaku untuk kuliah di Jurusan Kedokteran. Ya, suka tidak suka. Lagipula penulis itu relatif kok. Dokter mau menerbitkan buku siapa yang melarang? Itulah mengapa aku mau menuruti pemaksaannya.
Aku tidak suka Ibuku dan tidak pernah bermimpi untuk menjadi orang seperti dia. Apalagi hampir seratus persen aku mewarisi bentuk fisiknya. Sungguh, aku tidak suka. Tubuh yang lumayan tinggi dengan kulit kuning langsat, rambut hitam panjang, serta lesung pipi yang tertanam di kedua ruas pipiku. Teman-teman bilang, aku cantik. Secara tidak langsung mereka juga memuji ibuku, karena wajah kami benar-benar mirip. Mungkin akulah sketsa wajah masa mudanya. Menjengkelkan.
Aku tidak terlalu suka dengan suasana rumah yang lebih tepat di sebut ruang hampa. Di sana benar-benar sunyi, dan aku benci kesunyian. Aku akan pulang ke rumah ketika senja telah menari-menari di permukaan langit. Barangkali, rumah itu seperti hotel bagiku. Pulang, makan, tidur, lalu pergi lagi. Begitulah setiap hari.
Ibuku itu, ah. Dulu dia membuat hidupku terasa kurang lengkap karena sering meninggalkan kami anak-anaknya. Lalu melakukan pemaksaan dengan jalan hidup yang kami pilih. Dia suka, tapi kami tidak. Kemudian menjadi malaikat maut dari sosok yang aku dan adik-adikku banggakan. Memisahkan kami dari Ayah dan dengan kejam mengambil alih hak asuh kami. Ibu jugalah yang membuat kami bertiga menjadi tidak akrab lagi. Ibu itu seperti bencana. Bukan, aku bukannya tidak menghormati Ibuku. Sebelum semuanya kacau balau seperti hari ini, aku selalu menaruh hormat padanya walaupun dia tidak pernah mau menghargai prinsip dan pendapat kami semua. Tapi sejak hari itu, aku benar-benar menjauh dan membuat tembok pemisah dengannya. Semua orang akan menganggapku anak durhaka dan tidak tau terima kasih. Terserah saja. Itu karena mereka semua tidak pernah tau apa yang terjadi dalam cerita masa lalu hidupku. Andai mereka tau, mungkin mereka akan mengerti. Termasuk kau kan? Tapi aku tidak pernah bisa menolak pengakuan hatiku. Meskipun aku mengatakan aku tidak suka Ibuku, tapi tetap saja diriku yang lain masih menyayanginya. Sampai hari ini, diriku yang lain itu masih mencintainya.
Hikko
Viroland Note’s
Sudah lama aku menyibukkan diri di luar rumah untuk melupakan semuanya. I can run, but I can’t hide. Ya, begitulah. Aku terus berlari dari semua masalahku. Berlari sejauh yang aku bisa. Tapi sayangnya, aku tak kan bisa bersembunyi. Masa lalu selalu mengikuti, bahkan sampai hari ini. Selalu menemukan keberadaanku. Aku dihantui kisahku sendiri.
Tujuan. Aku bingung dengan tujuanku. Apa yang akan aku lakukan esok tak pernah aku rancang hari ini. Ku biarkan semuanya berlalu begitu saja. Siapa yang harus aku salahkan? Diriku sendiri? Ya, akulah penjahat besar dalam kekacauan hidupku. Tetapi ada satu orang lagi yang ikut campur tangan dengan semua ini. Karena orang itulah aku begini. Aku kehilangan sosok berharga dalam hidupku. Motivator terbaik dan idola yang selalu menjadi panutanku. Aku tak terbiasa tanpa kehadirannya. Lalu tiba-tiba saja aku menyaksikan kepergiannya. Dan Ibuku, dia tiba-tiba menjelma malaikat maut dalam pandanganku. Dengan cepat arus kebencian mengalir di seluruh tubuhku. Virus amarah menyerangku dengan ganas. Aku berubah. Membangun dunia sendiri dan tembok-tembok besar dengan anggota keluargaku, terutama Ibu. Dia dalang kekacauan ini. Tokoh diktaktor dan ahli ultimaltum sepanjang sejarah hidup kami -aku dan saudara-saudaraku-.
Tapi kau jangan meremehkanku. Aku tidak akan merusak diriku sendiri dengan pergaulan bebas remaja masa kini. Aku memang paling rajin keluyuran. Tapi tidak untuk ngabsen ke diskotik atau sekedar kumpul-kumpul untuk menghisap rok*k dan pesta mir*s. Aku masih terlalu waras untuk melakukan semua itu. Aku pergi ke rumah teman-temanku yang pintar dan teladan, lalu di sanalah aku belajar dan menghabiskan waktuku. Aku juga sering mengikuti lomba dan olimpiade, dan tidak jarang juga aku menang. Tak seorang pun teman-temanku yang tau bahwa aku adalah seorang remaja laki-laki yang dilema. Berasal dari keluarga yang menurutku “aneh”, ya tentu saja sejak sosok panutanku pergi begitu saja.
Teman-teman hanya tau kalau orang tuaku sudah berpisah, hanya itu. Selebihnya menjadi rahasia keluarga saja. Bagiku, cukup dalam hati saja aku menemukan kehancuran. Biarlah di dunia luarku, aku menjadi pribadi yang biasa-biasa saja. Ibu, mungkin dia tidak akan pernah mengerti. Karena baginya, kami hanyalah robot yang diprogram untuk terus menerus mengikuti segala perintahnya. Aku boleh saja membencinya, tapi sampai kapanpun orang yang aku benci itu tetaplah ibuku yang dalam kodratnya untuk kucintai.
Bilqis
Viroland Note’s
Aku berbeda. Setidaknya itulah kata-kata yang sering di lontarkan kakak-kakakku. Dari bentuk tubuh saja sudah menggambarkan perbedaan. Mbak Nisa mewarisi gen fisik Ibuku dan Kak Hikko mewarisi gen fisik ayah. Aku? Campuran, mungkin. Entahlah. Mataku sipit sendiri, rambut ikal sendiri. Dengan kulit putih dan bertubuh kecil mungil. Berbeda dengan Mbak Nisa yang berkulit kuning langsat, rambut lurus, tinggi dan berlesung pipi. Atau Kak Hikko yang bertubuh tinggi atletis, tampan dan berkulit sawo matang. Pokoknya aku berbeda lah. Teman-teman bilang aku imut, lucu dan menggemaskan. Mirip cewek Japannes.
Di antara saudara-saudaraku yang lain, akulah yang paling ceria dan cerewet. Akulah si bungsu kerewil yang bikin heboh suasana. Mereka semua memanjakanku dan selalu memperhatikanku. Itu dulu, dan kini tidak lagi. Semuanya berevolusi dengan cepat, dan aku belum siap menerima semua perubahan yang terjadi. Aku terlalu bingung, karena tidak terbiasa dengan suasana seperti ini. Tidak ada tempat berbagi. Semua orang di rumah ini saling menjauh dan membuat kotak-kotak sendiri. Kotak penghalang komunikasi.
Akhirnya aku menyerah dan mengikuti permainan mereka. Sibuk sendiri dan tak saling bicara. Karena itu aku tidak betah di rumah. Aku lebih memilih berbaur dengan dunia luar dari pada kecewa karena setiap pertanyaan kenapa yang aku lontarkan tak seorangpun yang mau menjelaskannya padaku. Bahkan menjawab pun tidak. Semuanya terabaikan.
Ah, andai orang itu masih ada. Mungkin aku tak kan merasa bingung seperti saat ini. Dulu aku tidak terlalu mempermasalahkan kehadiran Ibuku yang sangat jarang. Aku hampir tidak pernah bicara dengan Ibu, tapi aku tetap bahagia karena aku masih punya kakak-kakak yang sayang dan perhatian padaku. Aku tidak pernah menangis ketika teman-temanku saling bercerita tentang orang tua mereka, bahkan ketika mereka dengan cerewetnya bertanya padaku kenapa aku tidak pernah membahas tentang orangtuaku. Sedikit pun aku tidak pernah merasa iri. Bagiku, tiap keluarga punya ceritanya sendiri. Dan inilah keluargaku.
Aku merasa semuanya normal-normal saja, sampai suatu hari aku terpaku menyaksikan kejadian itu. Aku pikir aku bermimpi, tapi sayangnya ini nyata. Tepat di depan mataku, aku menyaksikan kepergiannya. Dia tampak damai, tapi aku tau tubuh itu menyiratkan banyak luka dan penderitaan. Dia, sosok yang selama ini menjaga kami semua. Tiba-tiba saja semuanya menyalahkan Ibu. Waktu itu aku belum terlalu mengerti kenapa kakak-kakakku menyalahkan Ibu. Tapi kini aku sangat mengerti, kenapa Ibuku lah yang dipersalahkan. Kenapa semuanya saling diam. Dan surat itu, kini aku memahami isinya.
Hari ini langit melukiskan kebahagiaan. Setiap sudutnya dipolesi rona ceria. Memunculkan senyum mentari yang menghangatkan setiap insan. Senyumnya tak luput menyapa sebuah keluarga yang tengah sarapan di sebuah rumah berlantai dua. Sepertinya, senyum mentari tak memberi pengaruh bagi mereka semua, karena hati mereka tetap membeku.
Suasana rumah ini mendung. Tak seperti langit pagi ini.
“Kenapa nggak ada yang mau bicara dengan mama?” Wanita paruh baya itu menghentikan suapannya, kemudian menatap anaknya satu persatu.
“Nggak perlu mama tanya juga pasti udah tau,” jawab Nisa sambil terus menyuap sarapannya.
“Bukan itu jawaban yang mama minta, mama butuh alasan Nisa.”
Nisa hanya diam.
“Dulu waktu kami butuh mama, mama dimana? di Tokyo? di London? Apa mama pernah hitung, berapa kali mama bicara sama Bilqis? Dulu kami tetap bisa terima kesibukan mama, karena kami masih punya Papa dan Kak Nizzam. Tapi mama membunuh mereka berdua. Kami butuh mereka ma, dan kami nggak butuh mama,” Bilqis berkata dengan bergetar. Sebenarnya dia tidak tega berkata seperti itu pada Ibunya, tapi dia tidak bisa lagi memendam semuanya. Masalah ini harus cepat selesai. Kalau semuanya tetap saling diam, sampai kapanpun semuanya akan terus seperti ini.
“Bilqis…” Wanita itu berteriak. Jatungnya berdebar dengan cepat mendengar pernyataan Bilqis.
“Apa? mama butuh alasan kan? dan itu alasan Bilqis ma.”
Bilqis meraih tas sekolahnya dan dengan cepat melangkah keluar rumah.
“Mama dengar, anak sekecil Bilqis mampu ngasih mama alasan yang tepat. Itu aja udah bikin mama kaget. Apalagi alasan Nisa ma? Sedih banget ma, kehilangan kakak kayak Nizzam,” Nisa mendesah pelan. Air matanya hampir saja tumpah.
“Nisa…”
“Nizzam itu mau jadi pelukis bukan arsitek,” Nisa berteriak, air matanya tumpah juga. Kemudian dia ikut-ikutan pergi keluar rumah.
Wanita empat puluh tahunan itu menelan ludah dengan susah payah. Bagaimana caranya untuk berdamai dengan anak-anaknya? Sebesar itukah kesalahannya hingga anak-anak yang dilahirkannya membencinya dengan sangat?
“Hikko..” wanita itu tergugu menyaksikan putranya masih duduk di meja makan. Sedari tadi hanya diam mendengar penjelasan kedua saudara perempuannya.
“Kami nggak membenci mama. Nggak akan bisa membenci mama.”
Wanita itu terdiam, Hikko menarik napas panjang.
“Mungkin mama nggak pernah lihat, gimana kedekatan kami berempat. Ya, Mama kan sibuk. Kami maklum. Kami masih punya Kak Nizzam. Dia pengganti Mama di rumah ini. Tapi Mama membuat Kak Nizzam pergi,” Hikko berusaha agar air matanya tidak jatuh.
“Dia yang membunuh dirinya sendiri,” wanita itu berkata dengan napas memburu.
“Ya, tapi mamalah alasan dia melakukan semua itu.”
“Kenapa kalian hanya menyalahkan mama? kenapa papa tidak?” wanita itu semakin terisak dan air matanya tak henti-hentinya mengalir.
“Karena papa adalah Ayah yang baik,” Hikko tetap berusaha menahan air matanya.
“Bohong. Papa kalian selingkuh masih dibilang baik? Gimana dengan perasaan mama?”
“Papa selingkuh bukan urusan kami. Itu urusan kalian berdua. Mungkin bagi mama, Papa bukan suami yang baik. Tapi bagi kami papa adalah Ayah yang baik.”
“Hikko..” wanita itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Papa selalu sempat melihat kami, walau hanya lima menit. Dan mama nggak pernah melakukan itu,” Hikko menarik napas panjang.
“Kak Nizzam yang paling sedih waktu tau kalian bercerai dan kami semua ikut mama. Apalagi setelah dia tau papa meninggal sehari setelah perceraian kalian. Dan dia memilih pergi bersama papa sebulan setelah papa meninggal.” Hikko menambahkan.
“Hikko cukup..” wanita itu lagi-lagi berteriak, kedua tangannya berpindah menutup telinga. Air mata masih membasahi pipinya.
“Kami semua kehilangan dua orang yang kami sayangi. Lalu entah sejak kapan kami bertiga menjadi tidak akrab lagi. Kami menjauh. Kami terlalu kecewa untuk menerima semuanya,” Hikko kemudian berjalan menuju pintu meninggalkan Ibunya yang terduduk dan menangis sesegukan. Hikko terus berjalan dan membiarkan air matanya tumpah. Ia menangis dalam diam.
Tahun 2009
“Gue mau jadi pelukis Nis,” ungkap Nizzam pelan pada saudari kembarnya yang duduk persis di sebelahnya.
“Apa bedanya sih lo sama gue, gue itu dulu mau ngambil jurusan Bahasa bukan IPA. Gue suka nulis, dan lo tau itu. Gue juga suka bahasa inggris, apalagi bahasa jepang. Pokoknya bahasa gue suka lah. Tapi mama kan designer masa depan kita. Dan Mama bilang gue harus jadi dokter,” Nisa mengangkat bahu.
“Tapi kan IPA lo juga suka?”
“Mungkin nilai itung-itungan gue tinggi, tapi tetap aja gue nggak suka pelajarannya.”
“Gue juga gitu Nis. Gue maunya kuliah di Fakultas Kesenian. Lagian gue juga suka musik. Kan nanti lo juga yang bangga kalau gue bisa jadi composer terkenal, pelukis terkenal, pencipta lagu, woow..” Nizzam menerawang sendiri.
“Dan Mama bilang lo harus jadi Arsitek handal,” Nisa menepuk bahu Nizzam.
“Dan gue nggak mau jadi Arsitek. Huh.”
“Terima aja lagi. Arsitek kan nanti juga ngelukis kerjaannya. Ngelukis rumah tapi,” Nisa tertawa kecil.
“Lo pikir ngelukis rumah asal jadi aja. Matematikanya juga jalan,” Nizzam menjitak jidat Nisa. Nisa hanya meringis kecil.
“Gue mau aja jadi arsitek. Tapi asal mama jangan mengatur hobby gue. Enak aja mama ngebakar property melukis gue. Semuanya dibakar habis.”
Nisa terdiam. Dia merasakan perubahan dari nada suara Nizzam. Suara itu menyiratkan kekecewaan yang teramat dalam. Wajah tampan itu dengan cepat berubah menjadi sendu. Wajah itu menggambarkan kesedihan yang tidak bisa diterobos oleh siapapun, termasuk Nisa.
“Mbak Nisa, Kak Nizzam,” gadis kecil berseragam merah putih itu berlari menghampiri kedua kakaknya yang sedang asyik bercerita di ruang keluarga.
“Hallo bidadari cantik,” Nizzam memeluk adik bungsunya itu.
“Gimana tadi di sekolah? seru?”
“Tadi teman-teman Bilqis pada cerewet lagi. ‘besok yang jemputin rapor kamu siapa?’ Pengen tauuu aja.” Bilqis tersenyum dengan sangat manis.
Nisa dan Nizzam saling bertatapan.
Keduanya terenyuh mendapati adik kecil mereka yang bisa bersikap tegar dan menerima semua keadaan dengan senyuman. Tidak pernah mengeluh dengan keadaan keluarga mereka. Tidak pernah bertanya kenapa hanya Orang tuanya yang berbeda, tidak seperti orang tua teman-temannya yang lain. Gadis itu selalu ceria dan cerewet. Ia benar-benar gadis bungsu yang berbeda. Bersikap lebih dewasa dari usianya yang sebenarnya.
“Eh, besok Kak Nizzam kan yang jemputin rapor Bilqis?” mata sipitnya yang bercahaya menatap Nizzam.
“Iya, besok Kakak ke sekolah kamu,” Nizzam tersenyum sambil mengelus-ngelus kepala Bilqis.
“Yess,” Bilqis bersorak kemudian berlari ke kamarnya yang terletak di lantai atas.
“Bolos lagi dong?” tanya Nisa.
“Terpaksa. Lagian ngambil rapor nggak perlu pagi-pagi amat kok. Gue masih bisa masuk jam pelajaran pertama, abis itu baru gue cabut.”
“Hikko besok juga Kak.”
Nisa dan Nizzam menoleh secara bersamaan. Seragam putih biru yang dikenakan Hikko terlihat berantakan. Dasinya sudah acak-acakan. Menyadari kedua kakaknya memperhatikan keadaan seragamnya, Hikko hanya menyengir kecil.
“Tadi habis main futsal kok.”
“Oke, jadi besok kamu juga ngapain?” tanya Nisa
“Rapat Ortu. Kan udah kelas tiga. Rapat minta sumbangan lah, masalah nilai lah. Tau ah.”
“Oke oke, besok Kakak ke sekolah kamu. Tapi Kakak ke sekolah Bilqis dulu.”
“Sip deh Kak,” Hikko mengedipkan matanya dan dengan riang melangkah ke lantai dua menuju kamarnya.
“Lo yakin? biar gue yang ke sekolah Hikko deh,”
“Nggak, daripada bolos berdua mending gue aja. Besok kalau ada anak kelas gue tanya kenapa gue ngilang aja, lo bilang gue sakit. Herpes, kanker, apa kek.” Nizzam tertawa kecil.
“Sekalian aja gue bilang lo Panuan. Terus lo pulang soalnya gatelnya minta ampun.”
Mereka pun tertawa bersama. Ruangan itu penuh dengan gema tawa mereka. Hangat oleh keakraban yang mereka ciptakan.
—
Langit seperti biasa melukiskan eloknya jingga. Berbaur cahaya mentari yang berjalan pulang ke peraduannya. Senja bermetamorfosa. Lagi. Sedetik, dua detik, sampai akhirnya senja menghilang. Malam kembali berkuasa.
Wanita itu dengan tergesa menutup jendela dan berlari merapikan meja makan. Sebuah kue tar berukuran lumayan besar telah tertata rapi di sana. Wanita itu tersenyum. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-45. Ia ingin merayakannya dengan anak-anaknya.
Wanita itu terlihat semangat dan bahagia, walaupun di wajahnya tampak kelelahan yang amat sangat. Tubuh itu semakin hari terlihat semakin kurus. Kerutan di wajahnya semakin tampak. Kecantikannya kian memudar ditelan waktu.
Wanita itu terus menunggu hingga larut malam. Namun tak seorang pun dari anaknya yang turun ke lantai satu. Tak seorang pun yang ingat akan hari ulang tahunnya. Wanita itu tetap tersenyum, walau sebenarnya dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Tepat lima menit sebelum pergantian tanggal, wanita itu membuat permohonan dan meniup lilin berangka empat puluh lima yang bertengger di atas kue tar-nya. Wanita itu termenung selama beberapa detik, kemudian ia menangis tanpa suara dengan seluruh tubuh bergetar.
Dari depan pintu kamarnya, Nisa menyaksikan semuanya. Tangan kanannya terangkat membekap mulutnya sementara air matanya terus berjatuhan. Dengan susah payah ia menyeret langkahnya untuk kembali masuk ke kamar. Tak lama setelah Nisa masuk ke kamarnya, Hikko juga keluar dari kamar dan menyaksikan hal yang sama. Hatinya tercabik-cabik melihat Ibunya sesegukan di depan kue ulang tahunnya. Ia pun ikut menangis. Namun Ego-nya terlalu dominan untuk sekedar menghampiri Ibunya itu. Akhirnya Hikko pun memilih masuk ke kamarnya kembali.
Tanpa keduanya sadari, Bilqis telah berdiri menyaksikan semuanya lebih dulu. Dan juga menyaksikan air mata mereka berdua yang berusaha di bungkam.
“Nizzam, gue kacau banget,” Nisa sesegukan di kamarnya setelah melihat Ibunya di lantai bawah barusan.
“Gue harus gimana?” Ia berkata pada selembar lukisan yang pernah diberikan Nizzam padanya. Nisa tersenyum di sela tangisannya. Teringat bagaimana dulu ia rela tampil norak demi mendapatkan lukisan ini.
—
“Kalau lo mau dukung gue di festival besok, gue kasih hadiah bagus deh,” Nizzam merayu Nisa untuk menjadi pendukungnya.
“Lo gitaris ya? Perform lo nanti nggak malu-maluin kan? Kalau jelek gue kan malu juga.”
“Tenang aja. Pokonya lo sorakin aja nama gue, ajak temen-temen lo juga kalau perlu.”
“Bilang aja lo nggak ada supporter. Ya udah, ada imbalannya ya? awas kalo lo boong,” Nisa memelototi Nizzam.
Sesuai kesepakatan, Nisa pun menjadi supporter Nizzam yang paling heboh. Berteriak memanggil nama Nizzam sambil memegang kertas karton besar bertuliskan nama Nizzam.
“Mana hadiahnya?”
Nizzam menyerahkan sebuah lukisan.
“Gue teriak-teriak cuma buat lukisan ini aja?” Nisa manyun.
“Nanti kalau lo kangen gue, lukisan ini berguna juga kok,” Nizzam hanya cengengesan. Nisa kesal-sekesal-kesalnya mengingat kenorakannya tadi hanya untuk sebuah lukisan.
—
“Lo bener, kalau gue kangen lo lukisan ini aja yang gue liatin. Yang ini lo, ini gue, ini Hikko, dan yang ini Bilqis,” Nisa menunjuk satu persatu orang-orang yang terdapat dalam lukisan Nizzam. Lukisan Nizzam satu-satunya yang masih tersisa. Lukisan empat orang dengan berbagai ekspresi yang dengan jelas adalah mereka berempat.
“Gue tau, gue harus bisa menerima masa lalu. Gue nggak boleh terus-terusan terikat. Gue masih punya masa depan. Oke, gue akan mulai lagi dari awal.”
—
Tahun 2010
“IP lo berapa?” tanya Nisa pada Hikko ketika mereka berada di depan gerbang kampus, langkah mereka seperti biasa menuju café diamond.
“IP lo 3,43 ya? Selamat ya Nis,” Nizzam mengabaikan pertanyaan Nisa.
“Iya Nizzam, makasih ya? tapi kan gue nanya IP lo bukan ngomongin IP gue.”
“Nih,” Nizzam menyerahkan selembar kertas yang dipenuhi nilai-nilainya pada Nisa.
Nisa mengerutkan kening dengan mata melotot.
“E E E E, Nizzam! 2,1?” Nisa berteriak tak percaya.
Nizzam mengangkat bahu cuek dan terus berjalan di sebelah Nisa.
“Nizzam, ini kayak bukan lo deh. Jangankan IP lo sama kayak gue, di atas gue juga lo bisa. IP 4,0 aja gue yakin lo mampu. Lo itu pinter tau nggak. Lo kenapa sih?” Nisa menggoyang-goyangkan lengan Nizzam.
“Nggak kenapa-kenapa kok Nis,” Nizzam tertawa kecil sambil mengacak-acak rambut Nisa. Nisa mengamati wajah yang sedang tertawa itu. Matanya berbeda. Ada yang tidak beres dengan Nizzam, pikir Nisa.
“Lo sakit? gue perhatiin lo kurusan? biasanya kan lo cerita ke gue?” Nisa berkata pelan.
“Eh, lo tungguin gue di café aja ya? gue ada perlu dulu nih. Nanti gue sms ya? Nggak lama kok,” Nizzam berkata cepat dan berlari meninggalkan Nisa.
Nisa hanya bisa ternganga, menarik napas lalu menghembuskannya kembali. Langkahnya tetap menuju café diamond, tempat dimana Nizzam dan dirinya sering menghabiskan waktu berdua.
Nisa memilih duduk di café bagian pojok. Suasananya lebih tenang, apalagi kacanya transparan sehingga bisa melihat pemandangan segar yang disuguhkan taman di sebelah cafe. Berkali-kali Nisa melirik ponselnya, berharap ada pesan masuk dari Nizzam.
Setelah hampir satu jam menunggu, akhirnya ponsel Nisa bergetar. Benar saja, pesan dari Nizzam.
“Nisa, gue di rumah. Gue sayang lo”.
Singkat. Hanya itu yang tertera di layar ponselnya. Tiba-tiba saja jantung Nisa berdegup lebih cepat, pikirannya kacau. Nisa merasakan kesakitan yang tidak bisa diungkapkannya dengan apapun. Dadanya berasa nyeri. Namun Nisa terus berlari dan menaiki bus. Dia terus berdoa agar dengan segera bisa sampai di rumah.
Hening!!
Hanya tubuh kaku Nizzam yang ditemukannya. Wajah tampan itu telah pucat. Jiwanya telah berjalan menuju langit. Kini hanya raganya yang tergolek tak berdaya. Dengan mulut dipenuhi busa, serta pergelangan tangan yang dipenuhi darah. Jarum suntik dan obat-obatan berserakan.
“Nizzam,” Nisa berkata lirih. Dibelainya tubuh Nizzam dengan air mata.
Di sudut kamar Nizzam, tampak Hikko yang dengan erat merangkul Bilqis. Gadis kecil itu hanya diam menyaksikan kepergian Kakaknya dengan cara yang tidak seharusnya. Entah dia mengerti, entah tidak.
“Ini kak,” Bilqis menyerahkan selembar kertas pada Nisa. Kertas itu penuh dengan bercak-bercak darah, namun tinta hitam yang tertera di atasnya masih bisa dibaca dengan jelas.
Mungkin dengan cara seperti inilah Kak Nizzam bisa membuat mama sadar. Sadar, bahwa mama telah mengabaikan kita, telah melupakan kita anak-anaknya. Lebih baik Kak Nizzam saja yang menyadarkan mama, lalu kalian tidak akan seperti biasanya lagi. Setidaknya setelah ini mama akan bersama kalian. Ini lebih adil bukan? Daripada kita terus berempat, namun kalian nggak pernah merasakan kehadiran sosok mama dalam kehidupan kalian. Kalian nggak usah cemas, Kakak akan baik-baik saja. Kak Nizzam berjanji, akan mencari papa dan mengatakan bahwa kalian juga akan baik-baik saja tanpa Kakak. Kak Nizzam sayang kalian semua.
Buat Nisa,
Lo jagain Hikko sama Bilqis ya?. Sekarang jabatan anak tertua gue serahin ke lo. IP lo jangan sampai rendah, jangan kayak gue. Mudah-mudahan lo bisa jadi dokter yang membanggakan. Gue berdoa buat lo. Nisa, makasih atas waktu yang udah kita lewatin selama ini. Nggak ada satu detik waktu pun yang gue lupain. Lo adalah saudara kembar terbaik, teman yang paling pengertian, serta kekasih yang perhatian dan mau mencintai gue dengan tulus. Love u.
Buat Hikko,
Kamu harus jadi pelindung kedua saudara perempuanmu. Jangan bikin Mbak Nisa jengkel, juga jangan jahil lagi sama Bilqis. Belajarnya yang rajin. Mudah-mudahan kamu lolos seleksi olimpiade Fisika tingkat Nasional itu ya? Kak Nizzam do’ain. Hikko, makasih untuk semuanya. Kamu adalah adik lelaki terbaik Kak Nizzam sepanjang masa. Teman yang paling semangat menghibur kalau Kak Nizzam lagi ada masalah, walaupun lelocon yang kamu kasih kadang-kadang rada garing. Nggak apa, yang penting niatnya. Satu lagi nih, biasanya kan Kak Nizzam yang paling ganteng, sekarang gelar ‘paling ganteng’ kakak kasih ke kamu. Love u.
Buat Bilqis,
Bidadari cantik Kak Nizzam harus tetap ceria dan cerewet ya? Kalau sedih, cerita sama Mbak Nisa atau Kak Hikko. Mudah-mudahan kamu tetap jadi juara kelas. Kakak selalu do’ain kamu sayang.
Bilqis, makasih untuk semuanya.. Kalau Kak Nizzam lagi marah-marah, ngeliat kamu aja kak Nizzam udah mau ketewa. Kamu bikin gemes, imut. Oh iya, dulu kamu pernah bilang kalau kamu pengen ketemu sama bidadari. Nanti kalau kak Nizzam ketemu, kakak bakal bilang kalau kak Nizzam punya adek perempuan yang idola banget sama bidadari. Love u.
Buat Nisa, Hikko, dan Bilqis
Kak Nizzam sayang kalian semua. Jangan pikirin kak Nizzam, karena di sini masih ada papa. Selamat tinggal adek-adekku tersayang. -Nizzam-
Tepat dibaris terakhir, ketiga bersaudara itu menangis tanpa terkendali. Di luar rumah, ambulance juga terdengar membahana. Lalu dimulailah mimpi buruk mereka. Tanpa Nizzam.
—
Nisa, Hikko, dan Bilqis berkumpul di kamar Nisa siang harinya. Nisa berjanji akan meruntuhkan tembok-tembok yang memisahkan mereka selama setahun terakhir ini. Ia sadar bahwa sekarang anak tertua adalah dirinya. Ia lah yang seharusnya menjaga dan membimbing adik-adiknya.
“Hikko berubah cuek, Bilqis berubah pendiam. Mbak Nisa bingung. Nggak tau mau ngapain. Makanya Mbak Nisa ikutan kalian.”
“Nggak ah, Hikko mau nyapa mbak tapi wajahnya sinis aja. Hikko pikir nanti juga baik lagi mood-nya, eh ternyata terus-terusan serem. Bilqis juga, pulang sekolah di kamar aja. Pokoknya semuanya kayak punya dunia baru. Ya udah, Hikko mau ngapain lagi,” Hikko mengangkat bahu.
“Bilqis yang paling bingung. Semuanya pada diem-dieman. Kalau ngomong sama mama pada ketus semua. Pulang ke rumah marah-marah nggak jelas. Bilqis kan takut juga.”
“Ya udah, kita mulai semuanya dari awal lagi. Kak Nizzam pasti juga marah kalau kita diem-dieman. Ya Ampun, betah banget ya setahun nggak pernah ngomong,” mata Nisa berkaca-kaca.
“Kita maafan ya?” Bilqis mengangkat jari kelingking ke udara, diikuti Nisa dan Hikko.
“Nanti kita minta maaf sama mama juga, Oke? Kita sujud kalau perlu. Pokoknya kita nggak boleh benci lagi sama mama. Mama yang sekarang sama yang dulu kan beda. Mama udah berubah,” Hikko ikut memberi saran.
“Iya, cukup setahun aja kita kayak orang asing,” Nisa tersenyum kemudian merangkul kedua adiknya itu.
“Kemaren malam Bilqis lihat kok Mbak Nisa sama Kak Hikko. Ngeliatin Mama kan? Bilqis udah lihat duluan. Nanti juga harus ngucapin selamat ulang tahun sama Mama. Nggak apa telat.”
Semuanya mengangguk setuju sambil terus berangkulan. Mimpi buruk itu hampir berakhir.
Langit kembali diselimuti jingga yang menawan. Arak-arakannya mengantar mentari pulang ke ufuk barat. Dari tadi sore, Nisa, Hikko, dan Bilqis menanti kehadiran Ibu mereka. Biasanya, setiap sore Ibu mereka duduk di depan jendela dekat ruang keluarga menyaksikan gumpalan-gumpalan jingga, pertanda senja telah tiba. Ibu mereka begitu menyukai senja. Entah apa yang menarik dari suatu jeda waktu antara sore dan malam itu. Yang mereka tau, Ibu mereka selalu menanti senja. Tak ada satu hari pun yang terlewati tanpa senja. Agaknya, senja telah seperti kekasih yang selalu dinanti wanita paruh baya itu.
“Hallo?” Nisa mengangkat gagang telepon. Disimaknya kata demi kata yang dikatakan orang di seberang sana.
Hening, Nisa terduduk.
Salah seorang karyawan Ibunya yang bekerja di toko roti, memberitahu Nisa bahwa tadi sore Ibunya ditemukan pingsan. Sejak kematian Nizzam, karir ibunya hancur. Lebih tepatnya Ibunya menghancurkan karirnya sendiri. Kemudian Ibunya membuka usaha toko roti yang sekarang sudah sangat maju.
Lalu tiba-tiba saja Nisa mendengar Ibunya pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Semuanya serba mendadak. Kenapa harus hari ini? Disaat dia dan adik-adiknya ingin memulai sebuah kehidupan normal lagi dengan Ibu mereka? Kenapa tidak besok? Sebulan lagi atau sepuluh tahun lagi? Nisa terus terdiam selama beberapa menit sampai akhirnya lamunanya buyar.
Dengan cepat Nisa mengajak adik-adiknya ke rumah sakit.
Ruangan serba putih dengan aroma obat-obatan. Tubuh yang mulai menua itu tergeletak lemah di atas ranjang. Hanya gerakan dadanya yang masih menyatakan bahwa tubuh yang tak bereaksi itu masih bernyawa.
Nisa, Hikko dan Bilqis mengucapkan ribuan permintaan maaf mereka. Mengatakan apapun apa yang ingin mereka katakan. Air mata yang terus mengalir membasahi pipi mereka. Mengingat setumpuk dosa dan kesalahan yang mereka lakukan pada wanita yang telah melahirkan mereka.
If you go away
this world will be full of solitude
All these stories, will be faded,
We love you,
We promise you that,
we’ll not leave you
we want to live for you
we won’t get angry to you
No matter you take for our life
we’ll not let you go.
“Maafin Nisa ma, Nisa sayang mama. Selamat ulang tahun ya ma?” bisik Nisa di telinga Ibunya.
“Hikko juga sayang mama. Hikko minta maaf buat semuanya. Happy birthday mama?” Hikko melakukan hal yang sama.
“Bilqis juga ma. Maafin Bilqis ya ma? Bilqis sayang mama. Selamat ulang tahun ma?” Bilqis berkata lirih sambil terus menggenggam tangan kanan Ibunya.
Tak lama setelah itu, genggeman tangan Bilqis terlepas. Tubuh itu menjadi kaku. Memucat. Namun tampak sisa-sisa air mata di antara kelopak matanya yang terpejam. Wanita itu menangis. Wanita itu pergi setelah semua anak-anaknya menyampaikan permintaan maaf mereka. Senjalah yang membawa jiwanya pergi. Senjalah yang menjemputnya. Kenangan tentangnya pun ikut terbawa dan menguap bersama senja. Sepotong senja yang telah menghilang.
if mom here, then this place is always blissful
we’re a part of your soul
and everything about you is close to our heart
always and forever,
as long as the stars twinkle in the night
as long as about you
will stay in our hearts.
—
Fachrunisa
Viroland Note’s
Selamat jalan Mama. I Love you. Mungkin kau akan menertawakanku. Bagaimana mungkin seorang calon dokter membiarkan Ibunya pergi begitu saja. Ya, takdir. Hanya itu jawabanku. Aku tak pernah tau tentang apapun yang dialaminya. Tapi biarlah, biarkan saja tubuh itu tenang di sana. Bersama papa dan Nizzam. Semoga mereka bertemu.
Hikko
Viroland Note’s
Aku bahagia, karena aku bisa mengucapkan maaf dan selamat ulang tahun untuk Ibuku walau hanya untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Aku bahagia. Kau dengar itu? bahagia. Semoga dititik inilah mimpi buruk kami berakhir, semoga hari esok menyambut kami dengan berjuta kebahagiaan.
Bilqis
Viroland Note’s
Penyesalan selalu datang di akhir. Ya, karena di akhirlah maka namanya penyesalan. Andai dari dulu saja aku berdamai dengan Ibuku. Tapi tak apalah. Inilah jalan yang telah aku lalui. Pasti ada hal baik yang akan terjadi di masa depan. Aku berharap masa depan kami semua, penuh dengan kejutan yang membahagiakan. Cukup masa lalu saja yang membenamkan kami pada kerancuan, kebuntuan, dan kekecewan. Biarkan masa depan memberikan rancangan terbaiknya.
Nisa, Hikko, Bilqis.
Maafkan kesalahan mama ya sayang? mama mengabaikan anak-anak mama. Anak-anak yang cantik-cantik, ganteng, pintar-pintar pula. Semoga mama dimaafin ya? Mama udah memaafkan kalian jauh sebelum kalian minta maaf. Tapi rasanya anak-anak mama nggak pernah punya kesalahan sama mama. Sebenarnya mama sudah sakit sejak lama, tapi mama takut periksa. Takut mama menderita penyakit serius. Akhirnya ya seperti ini. Penyakit yang semula kecil itu, menyebar dengan cepat. Menggerogoti seluruh tubuh mama. Awalnya memang gejala kecil pada kerusakan hati, tapi lama-lama menyerang organ lain. Tapi percaya sama mama, walaupun hati mama berlubang, membusuk, atau hilang. Mama akan selalu mencintai kalian. Karena tak hanya hati mama yang hafal akan rasa cinta untuk anak-anak mama. Seluruh tubuh mama, telah hafal bagaimana caranya untuk mencintai kalian. Lihat bukan? mama tetap bisa mencintai kalian sampai kapanpun walaupun hati mama sudah tak ada. Karena begitulah seorang Ibu diciptakan. Maafkan mama atas semua kesalahan masa lalu, sekali lagi. Mama sudah menyiapkan semua biaya masa depan kalian. Biaya kuliah Nisa, Pernikahan Nisa, kuliah Hikko, pernikahan Hikko, Sekolah Bilqis, Kuliah bilqis, serta biaya pernikahan Bilqis. Mama sudah menabung dari dulu untuk semua ini. Semua biaya itu bisa kalian gunakan. Jadi kalian tidak akan kekurangan apapun walaupun mama sudah
tak ada. Mama mencintai kalian, sayang.
0 komentar:
Posting Komentar